Wednesday, December 15, 2010

oh... wow...

Alkisah, ketika saya sedang iseng-iseng browsing mencari suatu menu masakan di kantin kampus saya dulu, tertumbuklah saya pada suatu kisah di sebuah thread forum yang mengisahkan percakapan dua orang tokoh utamanya dengan latar belakang kantin kampus saya itu dengan menu masakan yang saya cari.

Kisah cerita itu sederhana, tentang dua orang sahabat, kawan lama (kekasih?) yang sedang makan siang bersama, membicarakan kebiasaan-kebiasaan mereka dan bagaimana mereka sedang dalam proses beranjak lebih dewasa bersama. Suatu mata kuliah jurusan almamater saya yang diambil salah satu tokoh ceritanya dibahas. Suasana kuliah yang penuh tekanan dan situasi kantin tersebut yang melatarbelakangi percakapan mereka membuat saya mampu membayangkan kantin kampus yang penuh nostalgia masa kuliah untuk saya juga itu.

Tetapi posting ini bukan tentang nostalgia masa kuliah saya.

Karena kemudian saya memperhatikan tajuk forum tersebut.

Kisah itu berada di webpage yang bertajuk forum gay indonesia :D

oh...
...wow...

Saya... tidak ingin membahas tentang homoseksualitas...

Hanya tiba-tiba teringat kawan lama saya dulu ketika saya memulai program master saya. Ia berasal dari Trinidad dan Tobago. Dan ia ketika itu, tahun 2005, membahas bagaimana di Amerika, survey menunjukkan satu di antara beberapa orang di sekitar kita kemungkinan adalah gay.

Saya ketika itu hanya tertawa menanggapinya. Dengan naif menepiskan kemungkinan yang diajukannya itu karena menurut saya itu adalah fakta tentang Amerika, negara yang antah berantah jauhnya dari segi kultural dibandingkan negaraku tercinta.

Akan tetapi kini penemuan tulisan tidak disangka-sangka tadi, mau tak mau telah membuat saya memikirkan kembali pendapat saya...
tiba-tiba hal yang saya kira adalah fenomena antah berantah menjadi terasa nyata, terjadi dekat dengan saya.

Mungkin saya harus bangun dari tidur saya dan membuka mata saya lebih lebar.
Dunia sudah berubah.

Sunday, December 12, 2010

Facebook scares me

No, really, it does.

I've never been close to any of the social networking technologies.

Yesterday a friend talked about another friend which was never around. Everyone was curious about this mysterious person who just seem to pop here and there for some people, but never for the others.

So then, as tech savvy as my friends are, they all went to the book of faces. A friend showed us all this mysterious person's FB page, and we all gathered around to see it.

From the innocent beginning of comments like, "ohhh, so that's how he look like", then it was escalated into, "hey, he went to here and there! thought he always said he's busy", and, "oh, look, he's engaged", when then his pictures were browsed through.

I was there.. and I would be lying if I said I didn't giggle or join the chat of commenting this guy. But it then dawned on me that we are actually doing the very thing of stalking this guy through his FB. And it horrified me to think that someone would do that to me if I have an FB page.

Well, I don't have it. I guess that saves me from that possibility, maybe?

While I understand the many advantages of FB, the possibilities it give us to keep in touch with everyone, all the long gone friends, separated by distances or activities. I still somehow can't get used to this trend.

Facebook scares me in that... it gives us the illusion of we are knowing someone closely,- through his/her statuses, profile, pictures, comments-, while we might actually know very little of he/she compared if we directly get in touch with her/him.

Call me outdated, but I still believe in personal communication as the only way to properly get in touch with someone. Call, mail, chat one to one.

Sure, shouting in FB or any social network site it is an easy way to update everyone all at once about your things. But it's also very open, thus impersonal.

Thus... despite the image of the distance-less that we created in sharing the updates, we are also actually creating those implicit distance... that impersonality.
With the public nature of it, surely disclosing something very personal is impossible. And for others to response to us personally too, it would take an effort of either being shamelessly just disclosing everything in public space or use some extra effort in messaging privately or chat... or just be quiet.

In the end.. it would be the safe choices that are taken..
we'd seem to be open, to share much. And others too...
while actually it's all unconsciously orchestrated to still fit the norms..
Sharing as much as you can.. without ever really get too personal.

(to be continued.. and pending further editing)

Thursday, December 09, 2010

Tentang roti sobek...

Too much of something is never good

Biasanya saya terganggu dengan roti isi yang isinya tidak mencukupi untuk menemani saya mengunyah rotinya sampai habis. Maka ketika kemarin saya membuat sendiri sang roti sobek, saya memastikan isian masing-masing roti berlimpah.

Tapi ternyata isi yang berlebihan itu tidak nikmat juga. Akhirnya saya harus mencuili bagian rotinya saja dan menyisihkan isinya untuk merasakan rotinya dengan nikmat.

Ternyata memang berlebihan itu tidak pernah baik.. (to be continued..)


Rasa Baru

Masih dengan niatan untuk memiliki roti sobek dengan isian berlimpah, kemarin saya memasukkan kreasi ini di sebagian roti-roti buatan saya : 1 sdt coklat cincang, 1 sdt kacang cincang, 1 sdt parutan keju leerdamer.

Coba tebak hasil paduan rasanya seperti apa?

Saya membayangkan hasil rasa seperti rasa isian martabak manis / terang bulan coklat kacang keju.

Ternyata rasa yang didapat adalah...

rasa bumbu pecel!

hahahahaha

Thursday, December 02, 2010

Gubuk Derita

Derita jadi orang pendek

Saya biasanya cukup percaya diri kalau saya ini berperawakan cukup tinggi. Sampai beberapa hari yang lalu ketika saya masuk ke toilet wanita gedung universitas saya untuk mencuci tangan.

Toilet ini menggunakan sensor untuk otomatis menyalakan lampu apabila ada yang masuk.
Sayangnya sensor ini tampaknya tidak memperhitungkan saya dalam demografi penggunanya.
Karena, setelah pintu tertutup, saya ternyata harus meraba-raba untuk memastikan saya mencuci tangan pada tempat yang benar dalam keadaan gelap gulita :D

Walhasil saat ini ritual masuk toilet wanita harus saya awali dengan melambai-lambaikan tangan di depan pintu toilet dulu. "Hai sensor, saya disini" *sigh*

Derita makan bubur di musim dingin

Sebenarnya sudah bisa makan bubur pada musim dingin adalah suatu prestasi tersendiri. Karena tidak ada yang jual, pasti bubur itu adalah hasil jerih payah memasak sendiri tanpa kontribusi dari tukang bubur yang biasanya tinggal dipanggil :D
Apalagi kemarin bubur tersebut dimasak dalam keadaan sakit.

Sayangnya setelah perjuangan membuat yang cukup signifikan, ternyata untuk memakannya dibutuhkan pula perjuangan berikutnya.

Pada suapan pertama, bubur sukses membakar lidah :D ini salah saya, sih.
suapan kedua, hmmm, haduuu, ini, ya, nikmatnya makan bubur =')
suapan ketiga... halah... udah dinginnnnnnn T______________T
sedihhhhh T_T

Memanaskannya lagi di panci ternyata juga bukan solusi, karena kejadian sama kembali terulang. Bubur dan kuahnya yang bergejolak mendidih di panci, sukses mendingin setelah pindah ke mangkok dalam dua suapan saja =(

tampaknya lain kali saya harus makan bubur langsung dari panci di atas kompor saja kalau musim dingin begini ^^

Wednesday, December 01, 2010

Khusnudzon-lah

Alkisah beberapa hari yang lalu beredar di mailing list almamater saya tentang seorang kawan yang telah menikah. Sayangnya point pembicaraan lalu terpusat pada topik: mengapa tidak ada pemberitahuan?

Hari ini kemudian muncul-lah si kawan, dengan e-mail yang panjang lebar mengklarifikasi kabar, sebab musabab mengapa belum ada pemberitahuan sebelumnya, dan berlanjut dengan undangan untuk resepsi pada waktu yang akan datang.

Alangkah kasihannya kawan saya itu. Menikah yang di agama begitu dimudahkan saja, jadi harus dipersusah. Padahal sebagian besar anggota mailing list juga sudah menikah, yang tentunya berarti sudah merasakan bagaimana rusuhnya menikah di Indonesia itu.

Hal ini dulu juga sempat terjadi di mailing list almamater saya yang lain. Pada waktu itu pembicaraan bahkan jauh lebih heboh... dan... kejam. Karena kabar pertama kali datang dari kawan lain yang menemui si pasangan di dokter kandungan.

Ayolah, kita semua sudah dewasa, sudah belajar tentang tidak baiknya ghibah, apalagi fitnah. Jadi orang Indonesia itu sudah pasti dalam paketnya ada termasuk paling tidak sekali nasib tergosipkan oleh yang lain. Meski tentu saja ada argumen, itulah bagusnya komunitas kita, masih ada kontrol sosial yang jelas untuk perilaku setiap anggotanya oleh yang lain. Tapi alangkah sejuknya dunia bila kontrol sosial itu dilakukan dengan cara yang baik. Dan bukankah agama kita, rahmat bagi seluruh alam, telah menunjukkan caranya?

Membaca tajuk e-mail kawan saya itu : klarifikasi, saya jadi terfikir. Mungkin ini karena kita sudah terlalu banyak dicekoki infotainment di Indonesia. Dimana kabar yang belum jelas asal dan usulnya dan sarat praduga kiri kanan, a.k.a gosip, dengan mudahnya diumbar-umbar setiap hari, setiap jam, seolah-olah itu hal yang lazim. Mungkin itu lalu menjadikan radar kepekaan kita terhadap fitnah melemah? Dan kemudian, untuk membersihkan nama baik, sang selebritis kemudian harus mengadakan jumpa pers, memberikan klarifikasi...

Saya jadi ingat salah satu pesan Almarhum paman saya kepada istrinya sebelum beliau meninggal: jangan lah banyak-banyak menonton acara gosip.
Sungguh benar kata seorang kawan saya, orang yang bijaksana sering lebih cepat dipanggil karena Allah lebih sayang padanya...

Ah, setelah dipikir-pikir, mungkin saya sendiri jadi tidak khusnudzon sudah menulis posting ini...