Monday, April 08, 2024

Tunjangan Hari Raya

Masya Allah, fakta bahwa Indonesia adalah negara dengan pluralitas agama jelas sekali terlihat dalam peraturan mengenai Tunjangan Hari Raya (THR). Baru saya ketahui sekarang THR adalah bonus sebulan gaji (atau proporsional sesuai masa kerja seseorang bila bekerja kurang dari setahun) yang harus diberikan paling tidak seminggu sebelum hari raya agama yang bersangkutan. Untuk yang beragama Islam berarti seminggu sebelum Idul Fitri, yang beragama Kristen seminggu sebelum Natal, yang beragama Hindu sebelum Nyepi, dan yang beragama Buddha sebelum Waisak.

Alhamdulillah betapa negara kita menghargai semua agama. Konsep THR ini ada pula di Italia dengan konsep gaji ketiga belas (tredicesima). Hukumnya sama-sama wajib dengan THR dan jumlahnya sama, sebulan gaji. Peruntukannya juga kira-kira sama, untuk merayakan hari raya Natal. 

Wednesday, March 27, 2024

S memasak Gabby's Dollhouse Carrot Cake

 "Ibu, aku mau buat carrot cake!" kata S tiba-tiba sepulang sekolah saat kami menunggu metro. Aku terkaget-kaget dibuatnya. Aku memang sedang memikirkan apakah sebaiknya aku membuat cheesecake untuk dibawa ke acara buka bersama besok. 

"Oh, untuk dibawa besok waktu buka bersama?" tanyaku.

"Iya, tapi besok pagi aku makan dulu, ya," katanya ceria. Aku tertawa geli. Kalau sudah dimakan, nggak pantas dibawa ke acara, dong. Tapi kuiyakan juga keinginannya.

"Memangnya Stella tahu darimana carrot cake?" tanyaku ingin tahu. Seingatku S belum pernah kubuatkan carrot cake. Aku pernah membuatkan A, kakaknya, carrot cake sebagai cemilan yang sehat karena ada wortel dan kacang-kacangan di dalamnya. Akan tetapi karena A kurang suka, aku tak pernah membuatnya lagi. 

"Dari Gabby's Dollhouse!" jawab Stella mantap menyebutkan serial kartun favoritnya.

"Oalah," aku tertawa. "Ibu belum pernah buat carrot cake-nya Gabby's Dollhouse. Kita cari resepnya dulu, ya," kataku sambil mulai mencari resepnya di gawaiku sementara kami duduk di metro. 

"Ketemu, nggak, bu?" tanya S tak sabar. 

"Hmmm, nggak ada resepnya, nih. Cuma ada orang-orang yang membuat cake dengan tema Gabby's Dollhouse dan episode Gabby's Dollhouse membuat cake. Kita pakai resep lain saja, ya?" Jawabku sambil memperlihatkan halaman hasil pencarianku.

"No. We'll just have to watch Gabby's Dollhouse and get the recipe!" Katanya memberikan solusi.

"Aku udah punya wortelnya di tas," lanjutnya lagi.

"Ooo, tadi dapat wortel dari sekolah waktu fruit-eten?" tanyaku. Mulai terlihat, nih, benang merah kejadiannya. 

"Iya," katanya senang, "The carrot cake will be so yummy!" ungkapnya yakin sambil kami melangkah  keluar dari stasiun metro.

Aku tertawa. Sekarang aku mengerti kenapa tiba-tiba S mau membuat carrot cake. Di sekolahnya selalu ada jam makan buah (fruit-eten). Selain anak-anak boleh membawa sendiri buah favorit mereka, sekolah juga menyediakan buah-buahan dan sayuran untuk dimakan bersama. S yang sejauh ini cuma mau makan bekalnya sendiri, berupa pisang dan anggur (cuma yang merah saja dan harus dikupas kulitnya), biasanya akan dibawakan pulang buah atau sayur yang tidak dimakan di sekolah. Sering ia membawa pulang apel atau jeruk, pernah pula lobak. Kali ini rupanya ia dibawakan wortel lalu jadilah ia punya ide membuat cake seperti film kartun kesayangannya. 

Kukira S iseng-iseng saja menuturkan idenya tadi. Rupanya ia benar-benar serius. Setelah selesai mandi dan berganti baju di rumah ia langsung menagih, "Kita nonton Gabby's Dollhouse, terus aku mau buat carrot cake sekarang!" katanya.

Aku tersenyum mengiyakan. Kalau sudah ada keinginannya, S tidak bisa dialihkan perhatiannya. Benar saja, dengan cepat ia bisa langsung mendapatkan episodenya. Bersama-sama kami menontonnya sambil aku bersiap mencatat resepnya.

Di luar dugaan, episode yang dimaksud ternyata  tentang sulap! Bukan masak-memasak seperti yang kuharapkan. Aku tertawa geli sambil mencatat resep yang dibacakan tokoh Cakey. Instruksinya adalah masukkan semua bahan kue ke topi sulap, aduk-aduk dengan tongkat ajaib, lalu "Abra-cat-dabra!" jadilah carrot cake lengkap dengan dekorasi wortel cantik di atasnya. Harus kuakui carrot cake di film itu memang terlihat enak sekali! Tapi, kan, itu hanya film kartun saja.

Aku pun berusaha membujuk S untuk menggunakan resep lain saja, tapi S tetap berkeras. Setelah kulihat, rupanya komposisi bahan utamanya cukup mirip resep lain yang sudah teruji. Baiklah, walaupun aku skeptis, tak ada salahnya mencoba pikirku. Aku pun bergerak mengecek ketersediaan semua bahannya. 

"Pakai mixer atau mau aduk-aduk manual, S?" tanyaku sambil memberikan baskom kepadanya. 

"Aduk-aduk saja!" jawabnya mantap. Lalu dengan sigap ia memecahkan dua telur, menakar 1.5 cangkir gula (sambil mengambil sesendok untuk dicicipinya), dan mengaduk-aduk sambil menakar dan memasukkan semua bahan lainnya ke baskom. Ia sempat kesulitan memecahkan telur, karena ia hanya ingin membuat lubang kecil saja di cangkangnya. Akan tetapi ia menolak ketika hendak kubantu. Setelah sekian lama akhirnya ia berhasil sendiri memecahkan telur masalahnya. Aku hanya membantu mengaduk-aduk di akhir, memastikan semua tercampur rata. Bersama kami menuangkan adonannya di cetakan, lalu memasukkannya ke oven.

Seperti sulap, ternyata cake-nya jadi! S dengan antusias langsung memotongnya menjadi 4 bagian dan mengambil 1/4 bagiannya. Ia menolak ketika hendak kuusulkan memotong-motong cake-nya lebih kecil.

"Enak, S?" tanyaku. 

"Enak sekali!" jawabnya antusias dengan mata berbinar-binar sambil melahap carrot cake-nya.

Pada waktu buka puasa, aku, ayahnya dan A, kakak S, ikut merasakan carrot cake Gabby's Dollhouse buatan S. Ternyata memang benar enak! 

Untuk A bahkan 1/4 cake bagiannya tidak cukup. Ia meminta lagi, dan lagi, dari bagianku dan ayahnya. S tersenyum-senyum dengan senang melihat kami makan sambil menerima pujian-pujian kami. Ia terlihat bangga sekali! Alhamdulillah. 

Aku jadi bersyukur telah memilih untuk mendengarkan, mempercayai dan mendukung keinginan S mencoba sendiri dan tidak memaksakan menggunakan resep yang sudah kuketahui berhasil.

Semoga ini menjadi core memory untuk S supaya selalu percaya diri akan pendapatnya. Juga bahwa kalau ia sudah berteguh hati melakukan sesuatu dan bersungguh-sungguh, pasti ia bisa! 


Wednesday, March 13, 2024

Stok makanan Ramadan!

Sebagai yang secara de facto selalu ditanyai: "Makan apa kita?," dan satu-satunya yang bertanggungjawab menyiapkan makanan sahur dan berbuka di rumah, salah satu kecemasan terbesarku saat Ramadan adalah tak ada makanan ketika azan hampir tiba. Alhamdulillah, sekarang dengan bantuan teknologi dalam beberapa menit makanan bisa tersaji. Memudahkan sekali untukku generasi (hampir) millenial yang, kalau bisa, inginnya semua serba instan. Asal sudah ada stok makanan di kulkas atau freezer, yang kulakukan di saat darurat tinggal memasukkannya ke microwave / oven. Oleh karena itu benda penting untuk pendukung Ramadan buatku adalah microwave, oven, juga kulkas dan freezer

Menu andalanku saat Ramadan adalah: apa saja yang bisa tersaji dalam hitungan menit! Falsafah ini niatnya untuk mempersingkat waktu yang kuhabiskan memasak di bulan Ramadan. Tujuanku supaya waktu yang dihemat bisa digunakan untuk mengejar target Ramadan lainnya. Tentu saja aku tetap ingin makanannya memenuhi kriteria kesehatan dan enak. Untuk itu stok makanan beku adalah jalan ninjaku. Ada yang kubuat sendiri, ada juga yang kubeli jadi. 

Menu makanan beku buatanku berevolusi dari tahun ke tahun. Awal merantau, resep yang kubawa dari Ibuku adalah ayam yang diungkep dengan bawang putih dengan api kecil. Ketika mau makan, ayam itu lalu digoreng dengan tepung Kobe.  

Teman kuliah dari Pakistan lalu memperkenalkanku pada bumbu cepat saji qeema masala. Daging giling dimatangkan di tumisan (banyak) bawang bombay, lalu tuangkan se-sachet bumbunya. Qeema sendiri artinya daging giling, masala artinya bumbu. Pada makanan ini lalu bisa ditambahkan kentang (aloo qeema), bayam (palak qeema) dan lain-lain sesuka kita. Sebelum Ramadan aku membuat qeema ini dalam jumlah banyak untuk kusimpan di freezer. Setiap sahur / berbuka lalu kupanaskan sedikit-sedikit sambil ditambahkan sayuran apa saja yang ada.

Ketika sudah agak jago masak, menu yang kubuat dan simpan di freezer lebih bervariasi: terik daging, ayam panggang bumbu rujak / kuning, empal. Apa saja yang bisa dibekukan dan tinggal dipanaskan di microwave/ oven dalam beberapa menit. Ramadan ini menu yang kusiapkan beku adalah bakso, tempe tahu bacem, sayap ayam bumbu kuning, dan rendang permintaan anakku. Beberapa hari sebelum Ramadan aku disibukkan dengan urusan berbelanja, food prep, dan memasak semuanya. Kulkas kini penuh porsi-porsi makanan yang sudah berlabel, tinggal dipilih dan dipanaskan ketika dibutuhkan.

Dalam hal makanan siap saji, beruntung sekali di Belanda ini ada banyak pilihan makanan halal. Di kota kecilku di Itali dulu cuma ada burger yang teksturnya lebih seperti bakso / sosis. Di Belanda, selain pilihan makanan halalnya banyak, toko yang menjualnya juga banyak. Supermarket umum pun punya bagian khusus makanan halal. Lebih spesialnya lagi, bulan Ramadan juga dijadikan ajang untuk promosi diskon berbagai makanan halal oleh supermarket-supermarket disini. Oleh karena itu di peti beku kami Ramadan ini ada juga daging kebab beku, lahmacun (pizza turki dengan daging giling di atasnya), nugget, frikandel (Menu olahan daging giling dengan tekstur seperti bakso berbentuk sosis. Konon frikandel ini adalah asal kata perkedel.), kipcorn (corndog dengan isi seperti nugget ayam), dan juga kroket. Produk Belanda dan halal semua, Alhamdulillah.  Walaupun sejujurnya menurutku perkedel, kroket dan bitterballen gaya Indonesia jauh lebih enak daripada di tempat asalnya Belanda sini. 

Tak ketinggalan tentu saja aku juga menstok makanan kebanggaan Indonesia: Indomie! Sekardus Indomie Kari Ayam dan Indomie Goreng sudah siap sebelum Ramadan. Tak lupa juga Pop Mie yang sudah kustok ketika sedang promosi di supermarket. Walau tidak ideal dari segi gizi untuk dikonsumsi selama Ramadan, Indomie ini penyemangat utama anakku A untuk berlatih puasa! Apa boleh buat, sekali-sekali boleh lah supaya ia semangat.

Alhamdulillah, Ramadan ini stok makanan kami lengkap. Semoga mendukung ibadah kami semaksimal mungkin, amiin amiin.

Monday, March 04, 2024

Brownies

Perkenalan pertamaku dengan brownies adalah di Bandung, sewaktu kuliah di ITB. Bukan brownies Amanda, yang baru muncul dan mulai terkenal saat itu, tapi justru brownies buatan salah satu teman kos-ku di Cisitu. Sahabat kesayanganku ini, N, sudah berjiwa entrepreneur sejak dulu. Di saat aku cuma sibuk berkutat dengan tugas-tugas besar dan tenggelam di buku-buku tebal bajakan dari fotokopian Dunia Baru, ia sudah membangun usaha sampingannya sambil kuliah. N berkongsi dengan salah satu teman kos yang lain untuk bekerjasama membuat puding cup dan brownies yang lalu dititipkan di toko kelontong dekat kos-kosan kami. 

Untukku dulu memasak, apalagi membuat brownies seperti yang N lakukan, adalah hal yang ajaib. Ke dapur saja hampir aku tak pernah. Sejak kos semasa SMA aku bergantung pada makanan jadi dari ibu kos atau warung. Dengan keterbatasan uang bulanan, makanan enak seperti kue-kue dan brownies itu adalah makanan mewah yang cuma bisa dimakan kalau waktu liburan pulang ke rumah: program perbaikan gizi dari Ibuku. Jadi bahwa makanan seenak brownies bisa dibuat sendiri di dapur kos-kosan kami yang seadanya itu benar-benar amazing buatku!


Tentu saja buat N itu tidak semudah mengayunkan tongkat ajaib. N belajar memasak dari ibunya yang biasa menerima pesanan kue-kue untuk acara-acara. Untuk memulai usahanya, N membeli oven tangkring untuk dipakai di atas kompor dapur kos-kosan kami dan membawa mixer serta peralatan masaknya dari Jakarta. Ia berbelanja bahan kuenya di toko bahan kue di Simpang dan dengan detil menghitung pengeluaran termasuk penggunaan gas kompor milik bersama untuk menetapkan harga jualnya. Ia juga membuat kotak kue cantik yang dihiasnya dengan kertas kado untuk menaruh kue yang dijualnya di toko. Malam ia akan membuat adonan dan memanggang browniesnya. Paginya browniesnya dipotong-potong dan dikemas untuk dijual per potong. Telaten dan keren banget, deh, pokoknya N dalam berbisnis! Kata N konon ini karena keturunan Arab-nya, jadi jiwa bisnis sudah kental di keluarganya. 


Sebagai fans berat brownies N awalnya aku membeli browniesnya sebelum dibawa ke toko. Namun kemudian sempat N protes, karena terlalu banyak dibeli duluan di kos jadi sedikit yang bisa dibawa ke toko. Akhirnya beberapa kali kubela-belain, deh, beli ke toko dekat kos. Sisa yang tak habis terjual di toko juga kadang jadi rezeki bisa kubeli. Duh, nikmat sekali dulu rasanya bisa makan brownies yang enak di kos-kosan hampir tiap hari!


Ketika waktu libur tiba, terinspirasi dari N aku jadi ingin membawakan brownies untuk orangtuaku. Namun, sebagai orang terlalu PD, aku ingin membuatnya sendiri: penuh cinta untuk Bapak Ibuku! Maka aku pun ikut N berbelanja bahan dan membeli sendiri bahan untuk 1 loyang. Dengan meminjam semua peralatan N dan dengan semangat '45 aku membuat brownies mengikuti resep N. Tentu saja sambil terus menerus bertanya dengan rewel ini itu detail cara pembuatannya. Pakai protes segala: "Masa, sih, minyak goreng dipakai untuk buat cake?".  Sekarang setelah kupikir-pikir, kebangetan juga aku ini ngerepotin N. Masya Allah, sabar sekali N padaku! 

Dan hasilnya... gagal! Hahaha.

Entah mengapa brownies yang kupanggang lengket di loyang. Warnanya, sih, sudah betul coklat kehitaman. Akan tetapi teksturnya berbulir-bulir lengket, jauh beda dari brownies yang lembut, dan bentuknya juga tidak jelas. Apa boleh buat, sudah waktunya liburan, kubawa lah brownies gagal itu mudik.


Sampai rumah, sambil lalu kutaruh brownies itu di meja makan. "Ini aku bikin brownies, Bu, Bapak, tapi gagal, hehehe," lalu kutinggal lah brownies itu sementara aku sibuk dengan hal lain. Mungkin bongkar-bongkar baju kotor bawaan, hihi.

Tak disangka ketika kemudian aku kembali ke meja makan, Bapakku sedang dengan nikmat memakan brownies gagalku. Aku langsung dengan panik berusaha menghentikan beliau. "Jangan dimakan, Bapak. Itu gagal browniesnya, nggak enak!".

Namun Bapakku dengan santai tetap menyendok langsung dari loyang brownies yang sekarang sudah berkurang setengah lebih isinya. "Enak, kok, ini!".

Tidak tega rasanya aku melihat Bapakku memakan brownies gagalku. Akan tetapi  terharu sekali juga rasanya menyadari betapa suportifnya Bapakku kepadaku. Bapakku menghargai sekali usahaku membuat brownies itu walau hasilnya gagal. Allahuma barik, semoga Allah SWT membalas menyayangi Bapak Ibuku sebaik-baiknya, lebih dari Bapak Ibuku menyayangiku selalu.

Alhamdulillah sekarang, setelah melanglang buana dan terpaksa masak kalau mau makan, skill masak memasakku sudah lebih baik. Tak hanya brownies, berbagai macam cake lain sampai yang tricky seperti bolu gulung dan dobos torte pun Alhamdulillah kini bisa kubuat. Akan tetapi brownies selalu tetap di hati. Brownies selalu jadi pilihanku saat ingin sesuatu yang menyenangkan hati atau saat harus cepat-cepat membuat sesuatu untuk berbagi di acara dengan teman-teman. Aku selalu memastikan di rumah selalu ada coklat blok, mentega, terigu, gula dan telur sehingga sewaktu-waktu aku dapat membuatnya. Membuatnya mudah dan cepat, dan variasi toppingnya bisa dikreasikan tanpa batas. 

Anak-anakku, Alhamdulillah, juga selalu menikmati brownies buatanku. Putraku suka brownies dengan topping kacang-kacangan yang berlimpah, sementara putriku lebih menyukai brownies tanpa topping. Senang sekali rasanya tiap melihat mereka makan dengan lahap brownies buatanku. Semoga sampai nanti makan brownies akan selalu mengingatkan mereka akan rasa sayangku pada mereka, sebagaimana aku teringat rasa sayang Bapakku padaku, amiin.


Wednesday, February 07, 2024

Aku yang Dulu

Siapakah aku yang dulu? 

Susah rasanya melihat jejaknya di cermin. Aku sendiri sudah lupa rasanya siapa aku. Tapi, aku ingat kata-kata orang tentang aku yang dulu.

Mata yang sedih ini dulu kata bulik, adik ibuku, adalah mata yang ceria menyampaikan senyuman. "Bahkan sejak bayi", tekan beliau. 

Yah, rasanya aku yang dulu memang selalu penuh senyum dan bahagia. Mengenangnya hatiku terasa penuh dan senang. Aku yang dulu selalu dikelilingi keluarga dan sahabat yang sayang sekali padaku. Mereka selalu mendukungku, mempercayaiku, menghargai dan senang menghabiskan waktu bersamaku. Kawan-kawanku selalu menulis pada testimoni mereka tentang aku bahwa aku selalu ceria dan tersenyum. 

Aku yang dulu sangat aktif. Sejak SMA kegiatanku berderet dari mulai kegiatan baris-berbaris,  kerohanian siswa, sampai karya tulis ilmiah. Pengalaman berorganisasiku lengkap, mulai dari mengadakan pengajian, dengan sekat antara perempuan dan laki-laki, ospek SMA lalu jurusan, sampai mengadakan acara-acara pentas seni yang mendatangkan band ternama seperti Sheila on 7, lalu juga Cokelat. Oleh karena itu kawan-kawanku pun banyak dan tersebar dari berbagai kalangan.

Kalau berkumpul dengan teman-teman lama, mereka selalu bercerita tentang aku yang pintar. Kadang-kadang aku pun tidak ingat peristiwanya, tapi lalu mereka yang mengingatkan ketika aku mendapat nilai tertinggi di suatu kuliah, misalnya. Tapi rasanya aku harus mengatributkan gelar pintar itu ke kerja keras.

Aku yang dulu sangat produktif. Waktuku penuh diisi dengan belajar dan beribadah. Ibuku bercerita bagaimana dalam perjalanan kereta pada saat sakit pun aku tetap sibuk mengerjakan lembar-lembar soal matematika SMA. Dalam keadaan kritis demam berdarah aku berkeras tidak mau di-opname di rumah sakit karena aku harus mengerjakan tugas-tugas kuliahku. Teman-teman kos SMA dan kuliahku bercerita tentang aku yang selalu terlihat di kamar bergadang sampai larut malam belajar dan bangun dini hari tahajjud.

Ah, aku yang dulu sungguh senang sekali belajar. Dari SD sampai S3 Allah mengaruniakan banyak sekali ilmu kepadaku. Mimpi-mimpiku untuk masuk SMA terbaik, lalu jurusan ITB dengan passing grade paling tinggi, kemudian beasiswa penuh untuk S2 dan S3 di luar negeri semua dikabulkan Allah SWT. Masya Allah, Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar. Kadang-kadang aku terlupa begitu banyaknya nikmat yang telah kuterima dan lupa bersyukur.

Aku melihat kembali ke cermin. Susah rasanya melihat aku yang dulu : penuh senyum, percaya diri, pintar, pekerja keras, penuh harapan dan mimpi. Tapi merenungi aku yang dulu, kusadari aku yang dulu masih disitu. Mungkin, masih ada harapan untuk aku yang sekarang juga.

Tuesday, September 19, 2023

5 stages of receiving a diagnosis

First it was a surprise. That I am a victim of NPD abuse. 


Much like how I got the complex PTSD diagnose. 

Back then it's first disbelief/denial. I don't live in a warzone area.


With this one, I actually brought up the possibility, having seen how the symptoms just match.


The confirmation first felt as a relief. I am not crazy. Something IS wrong with him.


Then I started reading about it. And just like before it feels I am reliving all the painful events.


Now everything is clear, the why : he's a narcissist. Or maybe autistic and narcisstic.


Still, the "answer" doesn't make it hurt less. It hurts more and more now that all the instances, the hurt, swept under the rug, thought to be all my fault, all came back up. 


And together I can see, it's not all my fault as I made myself believe. 

It hurts, it hurts so very much. I am not yet to the next stages... I know i must do something. But this pain is just debilitating. This pain, i need to own it first. That I am hurt, really really hurt.


Being in a state of shock is an understatement.

I am spent, trying my best keeping my face straight from just bursting out ugly crying any second I can when no one's watching.


Monday, September 18, 2023

Validation today

 It doesn't matter whether it's autism or NPD or whatever undiagnosed thing it is / they are. 

I am hurt as a result. 

I am reduced to an empty shell of my former self in the limited space that I am allowed, which is getting smaller and smaller.

Whatever I do doesn't matter because it's never going to please you anyway.

There's something wrong with you. 

And after everything, I have to accept, there's nothing I can do about it. I just have to learn to survive, stay sane, and do my best for the kids.