Anakku A lahir di Italia. Dengan bahasa ibu di rumah bahasa Indonesia dan lingkungan pergaulan kami yang mayoritas berbahasa Inggris. Kekhawatiran pertama saya ketika ia mulai bersekolah bukanlah apa ia akan mendapatkan teman, tetapi lebih mendasar: apakah ia akan bisa survive dengan lingkungan semua berbahasa Italia?
Saya membacakannya buku-buku berbahasa Italia di rumah. Kami mengikuti kegiatan ibu dan anak berbahasa Italia. Kami juga memiliki seorang nonna italiana yang merajutkan selimut hangat buat A ketika ia lahir. Tapi hanya sampai disitu saja interaksi kami dalam bahasa Italia sehari-harinya.
Alhamdulillah ternyata sesuai saran ahli pedagogis, -yang tidak menyarankan saya berbahasa Italia juga di rumah bila memang bukan bahasa Ibu-, A tumbuh berkembang dengan baik di sekolahnya. Di nido (pra-TK) malah ia menjadi anak pertama di kelasnya yang mulai berbicara bahasa Italia. Dengan menirukan semua ucapan guru-gurunya sehingga ia dijuluki Papagalino: si burung kakaktua.
Sifat sosial A sudah terlihat sejak di nido. A hafal nama teman-temannya dan juga mengenali yang mana orangtua yang selalu mengantar / menjemput mereka. Di rumah ia akan bercerita mengenai mereka dan dimanapun kami bertemu ia akan lantang menyapa mereka. Mayoritas teman-temannya belum lancar berbicara, tapi itu ternyata tidak menghalangi mereka main bersama dengan aktif.
Ketika ia harus mulai sekolah di scuola materna (TK) pada umur 2.5 tahun awalnya saya khawatir. Ia harus beradaptasi dengan sekolah baru, guru baru, dan teman baru yang tidak dikenalnya dari bayi. Ternyata ia bisa mengikuti semua kegiatan dengan baik dan berinteraksi dengan guru dan teman-temannya dengan aktif. A memiliki banyak teman-teman, yang selalu menyambut dan memeluknya ketika ia datang. Mereka selalu saling menyapa dengan excited setiap bertemu di jalan, sampai berlarian dari jauh dan memeluk dengan dramatis seperti di film India! lalu dengan semangat main bersama di taman. Ah, alangkah manisnya anak-anak!
Kami lalu pindah ke Belanda. Dengan pengetahuan bahasa Belanda nol besar. Kembali saya khawatir. Sistem pendidikan dan lingkungan yang berbeda, penyesuaian dengan tempat baru, apalagi di masa pandemi dengan kebijakan sekolah yang minim interaksi orangtua karena harus menjaga protokol Covid. Satu-satunya hal yang sedikit menenangkan adalah mayoritas orang berbahasa Inggris disini, juga gurunya. Maka saya pun berpesan banyak-banyak, bila ada yang ia tidak mengerti atau ia butuh bantuan, jangan segan-segan bertanya dengan bahasa Inggris.
Alhamdulillah A ternyata bisa langsung memiliki teman baik. Rupanya salah satu teman di kelasnya berbahasa ibu bahasa Inggris. Lega sekali rasanya A bisa langsung memiliki teman! Akibat buruknya tapi A jadi lebih suka berbahasa Inggris terus dengan anak itu saja.
Qadarullah lalu terjadi sedikit masalah dengan anak tersebut. Sehingga gurunya menganjurkan untuk A lebih aktif berbahasa Belanda lagi dan bermain dengan yang lain. Alhamdulillah ia lalu menemukan teman lain yang berbahasa Inggris lagi dan selanjutnya seiring dengan perkembangan bahasa Belandanya ia memiliki lebih banyak lagi teman yang berbahasa Belanda. Ternyata bahasa memang membuka lebih banyak ruang pertemanan.
Kini, seperti dulu juga di Italia, ia selalu disambut dengan pelukan oleh teman-temannya ketika datang ke sekolah, juga ketika pulang. Alhamdulillah. Sungguh saya kagum dengan resistensi dan kemampuan adaptasi A. Subhanallah Allah yang menciptakan otak manusia dengan kemampuan adaptasi dan bahasa yang mengagumkan.
Saya percaya lingkungan yang baik, teman-teman yang baik dan amar ma'ruf nahi munkar adalah rezeki. Maka tak henti-hentinya saya selipkan doa untuk A setiap sehabis shalat: Semoga A dikelilingi banyak teman-teman yang baik, menyayanginya dan Allah melindunginya selalu di jalan Allah dunia akhirat, amiiin.
No comments:
Post a Comment