Memiliki anak telah kami rencanakan sebaik-baiknya ketika kami "siap". Telah kami selesaikan urusan studi kami dan kewajiban agama kami. Kami telah siap dengan pekerjaan tetap, asuransi, berbagai cek darah dan konsultasi dokter sebelum program kehamilan. Lima buku tebal mengenai kehamilan dan berbagai buku-buku anak sudah siap. Dari Indonesia 2 koper perlengkapan bayi sudah dibawakan. Berpuluh lirik lagu anak-anak juga telah dituliskan ibuku untuk ku senandungkan.
Tapi realitas menghantamku: tangisan anakku membuatku stress, panik dan ikut menangis. Sesuatu yang membuatku ditahan pulang dari rumah sakit. Tapi aku berkeras pulang. Aku tak bisa tidur di rumah sakit karena aku selalu khawatir terjadi sesuatu pada bayiku di sebelah ranjangku ketika aku tertidur. Tapi ibu macan apa aku kalau menitipkan anakku di ruang suster?
Akhirnya aku tertidur panjang begitu sampai rumah. Aku tahu ada J untuk bayiku ketika aku tertidur. Tapi kecemasanku berlanjut. Bayi kecil ini hidupnya seluruhnya tergantung padaku. Sementara ia hanya bisa menangis. Aku tak mengerti apa yang ia mau dan aku tak tahu sama sekali apa yang harus kulakukan. Aku cemas setiap saat akan bayiku.
Aku mengadukan kecemasanku pada ibuku, panutanku. Ibuku menjawab tenang: "Nanti akan lewat'. "Ibu akan belajar bersama anaknya". "Semua trial dan error". "Nanti secara alami akan bisa".
Tapi aku tak bisa.
Aku terbiasa berpacu menjadi yang terbaik dalam belajar. Berikan semua dasar teorinya padaku, akan kupelajari semua dan akan kupecahkan semua masalah sesuai dasar teori tersebut.
Menghadapi bayiku, tanpa dasar teori, rasanya semua titik acuan ku hilang. Aku merasa tidak punya kontrol atas apa yang terjadi. Aku selalu dihantui ketakutan dan berfikir anakku pasti akan lebih baik bila bersama ibu yang lain. Yang sudah siap menjadi Ibu terbaik.
Bagaimana menjadi ibu yang terbaik?
Kelak aku mendapat jawabannya: yang penting adalah bagaimana menjadi ibu yang cukup baik untukku dan anakku.
Mengingat masa-masa itu, lalu melihat diriku sekarang setelah anak kedua lahir, dimana aku bisa menghadapi dua anak yang menangis histeris dengan tenang. Dimana aku bisa menarik kesimpulan bahwa dulu aku mengalami postpartum depression. Yang dijawab santai J: "Iya, aku tahu, 'kan aku diceramahi oleh dokter dulu sebelum kamu akhirnya dibolehkan pulang". Aku jadi bisa menghargai betapa jauh perjalanan diriku untuk sampai di saat ini. Bersama dengan tumbuhnya anak-anakku. Lahir kembali bersama mereka.
Berserah
Ternyata aku jadi mempelajari ulang agamaku: berserah, sesuai akar kata Islam. Sesungguhnya anakku adalah titipan Allah. Tidak ada yang bisa kulakukan tanpa seizin Allah. Maka yang berada dalam ruang kontrolku adalah dengan berusaha semaksimal mungkin dan kemudian menyerahkan semua pada Allah. Menitipkan anak-anakku pada sebaik-baiknya penjaga titipan.
Menurunkan standard dan menata ulang prioritasku
Sejak awal kehamilanku ibuku telah menasihatiku untuk menurunkan standard. Dan tentu saja setelah jatuh bangun stress dan kecapaian, aku baru melaksanakannya: melakukan semampunya semua hal berdasarkan skala prioritas.
Maka semuanya kulakukan dengan survival-mode. Rumah berantakan, cucian menumpuk, it's okay. Yang penting semua sehat, well-fed, bahagia dan berpakaian bersih.
Aku juga jadi belajar mengatur waktu sebaik-baiknya. Agar 5 menit yang tersisa bisa kupakai untuk sekedar menaruh mainan pada tempatnya untuk menjaga kewarasanku.
Belajar kembali menjadi manusia
Membersamai manusia-manusia kecilku tumbuh besar, ternyata aku ikut belajar kembali menjadi manusia seutuhnya. Kami belajar mengontrol emosi ketika marah dengan menarik nafas dalam dan menghitung sampai 4 bersama Daniel Tiger. Ketika aku memvalidasi perasaan kesal mereka ketika tantrum dan membantu mereka kembali tenang, aku belajar memvalidasi juga perasaanku untuk hal yang sepele bagi orang lain tapi penting sekali bagiku.
Sering aku justru belajar dari mereka. Pernah aku tak sengaja memecahkan celengan anakku. Kami sedih sekali. Sambil mengelem kembali pecahannya dan memohon maaf kepada anakku, dalam hati aku sibuk memarahi diriku sendiri. Tapi anakku justru berkata menenangkanku, "I'm not mad, Mom". Ah, betapa kita memang harus memuliakan anak. Aku jadi belajar menyayangi diriku sendiri dan memaafkan diriku.
Aku belajar menghargai keinginan mereka. Sehingga ketika anakku memilih berhenti melihat awan yang bentuknya aneh daripada main di taman yang kukira lebih menyenangkan, itulah yang kami lakukan.
Sungguh banyak yang kupelajari dengan kehadiran mereka. Dan masih banyak lagi yang akan aku pelajari. Tapi aku tahu aku siap: siap tumbuh dan belajar bersama mereka.
No comments:
Post a Comment