Tulisan kali ini dipersembahkan untuk komunitas Mamah Gajah Ngeblog dalam rangka ‘Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog di bulan September 2021 mengenai pengalaman berbahasa. Tadinya 'jiper' mau menulis, sepertinya point yang saya pikirkan sudah agak terwakilkan di tulisan DIP: Bahasa, jurang dan jembatan hubungan kita. Kebetulan ternyata juga sedang sama-sama terdampar di Belanda. Tapi ada point lain yang rasanya meresahkan diri saya dan perlu saya tuliskan untuk setidaknya menenangkan diri saya sendiri.
Bahasa dan identitas
Meski istilah "mencari identitas" rasanya identik dengan permasalahan anak remaja, di umur yang sudah memalukan untuk mengaku remaja ini berkali-kali saya merasa harus mendefinisikan ulang identitas saya. Bukan karena jiwa yang masih labil sehingga pagi nasyidan (tabuh berbunyi, memecah alam sunyi.. ) lalu malam jerit-jerit headbanging ( in the eeeeend..it doesn't even matter!)*, tapi karena situasi dan kondisi memang berubah. Dan bukankah hanya yang mampu beradaptasi akan bisa bertahan?
* Btw, kalau bisa baca liriknya dengan melodi yang tepat berarti kita zaman labilnya deketan dulu, ya :D
Contoh riilnya sekarang ini, saya sedang harus mendefinisikan ulang identitas saya. Situasinya: keluarga kecil kami baru saja "bedol desa" dari kota kecil cantik di pegunungan Italia ke kota besar metropolis di daratan bawah permukaan laut di Belanda. Kondisinya: saya yang tadinya bekerja dan menulis dengan bangga di kolom pekerjaan : "Ilmuwan" sudah resign dan belum mulai menerima nasib, baik itu jadi ibu rumah tangga atau jadi pencari lowongan kerja. Mau jadi ibu rumah tangga galau ketika anak dengan mantap bilang, "Ibu, kan, kerjanya masak!". Mau mulai apply-apply kerja galau karena algoritma-algoritma dan dasar pemrograman dulu sudah lupa semua. Duh, maafkan mantan asisten labmu dulu ini Bu Inge >_<
Perpindahan geografis ini selalu juga mendefinisikan identitas yang terkait dengan bahasa. Sejak kecil di Indonesia saya berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain yang berbahasa daerah berbeda. Maka di Makassar saya adalah anak yang berbahasa Indonesia dengan sedikit dialek lokal seperti sisipan "mi", "di", atau "ki" tapi tidak mengubah akhiran kata "n" menjadi "ng". Di Bandung saya adalah anak yang menyelipkan "teh", "mah", dan beberapa kata-kata Sunda walau dengan intonasi Jawa yang dibilang terlalu lembut dan medok. Tapi walau saya dituduh medok di kota lain, di Jogja saya justru tidak berbahasa jawa. Saya justru baru menyadarinya dari komentar sambil lalu seorang sahabat. Di Jogja saya adalah anak yang mengerti bahasa jawa tapi selalu menjawab dengan bahasa Indonesia.
Ternyata saya adalah anak dari keluarga Jawa yang selalu dianggap Jawa di luar Jawa, tapi justru tidak berbahasa Jawa di Jawa.
Setelah melalui refleksi, alasan utamanya adalah: karena takut salah tingkatan. Bahasa Jawa punya 3 tingkatan kehalusan. Untuk berbahasa dengan baik saya merasa perlu menggunakan tingkatan yg tepat juga. Tapi saya tak punya perbendaharaan kata yang lengkap untuk ketiga tingkatan ini. Maka jadilah saya mencari aman dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Sekarang saya sadari mengapa saya nyaman berbahasa Inggris. Bahasa Inggris adalah bahasa yang memerdekakan saya dari ketakutan akan salah kasta tingkatan ini. Penggunaannya yang menyamaratakan seluruh audiencenya dengan "you" membuat hidup saya yang canggung memilih menyebut "kamu", "kau", "dikau", "loe" sungguh jadi lebih sederhana. Maka sejak di SMA dimana saya menemukan teman-teman yang berbahasa Inggris juga dan mendirikan klub bahasa Inggris sekolah jadilah saya nyaman berbahasa Inggris di komunitas saya.
Sejak pindah studi dan akhirnya menetap di Eropa, masalah dengan identitas bahasa ini menjadi lebih rumit. Dengan kondisi geografis Eropa, jalan jauh sedikit saja maka kita sudah berganti negara dan berganti bahasa. Dan sayangnya Uni Eropa tidak dipersatukan dengan satu bahasa, pun akar bahasa mereka tidak satu.
Saya beruntung petualangan saya di negara-negara Eropa yang membutuhkan kemampuan bahasa, dan bukan sekedar sebagai turis, setidaknya semua ada di cabang West Germanic (Inggris, Jerman, Belanda) dan Romance (Italia, Perancis) di gambar pohon keluarga bahasa di bawah (Sumber gambar dan pohon lengkapnya ada disini).
Dengan bahasa yang serumpun Alhamdulillah kosakata bahasa Perancis, Italia, Spanyol, dan Portugis bisa dipelajari lebih cepat. Banyak kata yang akar bahasa latinnya sama sehingga mirip. Hanya cara pengucapan di bahasa Perancis yang smooth jelas jauh berbeda dengan bahasa Italia yang intonasi dan penekanan huruf-hurufnya jelas. Di bahasa Jerman dan Belanda hal yang sama terjadi. Bahkan flatmate Jerman saya dulu mengatakan bahasa Belanda itu seperti bahasa Jerman tapi dengan pronounciation oleh anak-anak kecil.
Aturannya juga secara garis besar sama. Ada gender (M/F/Neutral), ada penyesuaian kata kerja sesuai dengan subject, ada perubahan kata sesuai dengan tenses. Pertama kali mempelajari bahasa Jerman di SMA, lalu bahasa Perancis di CCF Bandung dulu tentu saja terasa banyak sekali aturan grammar yang begitu rumitnya. Bagaikan langit dan bumi dengan bahasa Indonesia yang sederhana sekali grammarnya. Bahasa Inggris juga jadi terasa simpel kalau dibandingkan dengan banyaknya aturan bahasa Jerman. Tetapi setelah initial shock belajar satu bahasa Eropa lewat, maka jadi mudah ternyata mempelajari bahasa yang serumpun. Umumya kita tinggal menganalogikan aturan-aturannya untuk mempelajari bahasa lainnya.
identitasmuadalah lokal kalau kamu bisa berbahasa daerah setempat