Wednesday, March 13, 2024

Stok makanan Ramadan!

Sebagai yang secara de facto selalu ditanyai: "Makan apa kita?," dan satu-satunya yang bertanggungjawab menyiapkan makanan sahur dan berbuka di rumah, salah satu kecemasan terbesarku saat Ramadan adalah tak ada makanan ketika azan hampir tiba. Alhamdulillah, sekarang dengan bantuan teknologi dalam beberapa menit makanan bisa tersaji. Memudahkan sekali untukku generasi (hampir) millenial yang, kalau bisa, inginnya semua serba instan. Asal sudah ada stok makanan di kulkas atau freezer, yang kulakukan di saat darurat tinggal memasukkannya ke microwave / oven. Oleh karena itu benda penting untuk pendukung Ramadan buatku adalah microwave, oven, juga kulkas dan freezer

Menu andalanku saat Ramadan adalah: apa saja yang bisa tersaji dalam hitungan menit! Falsafah ini niatnya untuk mempersingkat waktu yang kuhabiskan memasak di bulan Ramadan. Tujuanku supaya waktu yang dihemat bisa digunakan untuk mengejar target Ramadan lainnya. Tentu saja aku tetap ingin makanannya memenuhi kriteria kesehatan dan enak. Untuk itu stok makanan beku adalah jalan ninjaku. Ada yang kubuat sendiri, ada juga yang kubeli jadi. 

Menu makanan beku buatanku berevolusi dari tahun ke tahun. Awal merantau, resep yang kubawa dari Ibuku adalah ayam yang diungkep dengan bawang putih dengan api kecil. Ketika mau makan, ayam itu lalu digoreng dengan tepung Kobe.  

Teman kuliah dari Pakistan lalu memperkenalkanku pada bumbu cepat saji qeema masala. Daging giling dimatangkan di tumisan (banyak) bawang bombay, lalu tuangkan se-sachet bumbunya. Qeema sendiri artinya daging giling, masala artinya bumbu. Pada makanan ini lalu bisa ditambahkan kentang (aloo qeema), bayam (palak qeema) dan lain-lain sesuka kita. Sebelum Ramadan aku membuat qeema ini dalam jumlah banyak untuk kusimpan di freezer. Setiap sahur / berbuka lalu kupanaskan sedikit-sedikit sambil ditambahkan sayuran apa saja yang ada.

Ketika sudah agak jago masak, menu yang kubuat dan simpan di freezer lebih bervariasi: terik daging, ayam panggang bumbu rujak / kuning, empal. Apa saja yang bisa dibekukan dan tinggal dipanaskan di microwave/ oven dalam beberapa menit. Ramadan ini menu yang kusiapkan beku adalah bakso, tempe tahu bacem, sayap ayam bumbu kuning, dan rendang permintaan anakku. Beberapa hari sebelum Ramadan aku disibukkan dengan urusan berbelanja, food prep, dan memasak semuanya. Kulkas kini penuh porsi-porsi makanan yang sudah berlabel, tinggal dipilih dan dipanaskan ketika dibutuhkan.

Dalam hal makanan siap saji, beruntung sekali di Belanda ini ada banyak pilihan makanan halal. Di kota kecilku di Itali dulu cuma ada burger yang teksturnya lebih seperti bakso / sosis. Di Belanda, selain pilihan makanan halalnya banyak, toko yang menjualnya juga banyak. Supermarket umum pun punya bagian khusus makanan halal. Lebih spesialnya lagi, bulan Ramadan juga dijadikan ajang untuk promosi diskon berbagai makanan halal oleh supermarket-supermarket disini. Oleh karena itu di peti beku kami Ramadan ini ada juga daging kebab beku, lahmacun (pizza turki dengan daging giling di atasnya), nugget, frikandel (Menu olahan daging giling dengan tekstur seperti bakso berbentuk sosis. Konon frikandel ini adalah asal kata perkedel.), kipcorn (corndog dengan isi seperti nugget ayam), dan juga kroket. Produk Belanda dan halal semua, Alhamdulillah.  Walaupun sejujurnya menurutku perkedel, kroket dan bitterballen gaya Indonesia jauh lebih enak daripada di tempat asalnya Belanda sini. 

Tak ketinggalan tentu saja aku juga menstok makanan kebanggaan Indonesia: Indomie! Sekardus Indomie Kari Ayam dan Indomie Goreng sudah siap sebelum Ramadan. Tak lupa juga Pop Mie yang sudah kustok ketika sedang promosi di supermarket. Walau tidak ideal dari segi gizi untuk dikonsumsi selama Ramadan, Indomie ini penyemangat utama anakku A untuk berlatih puasa! Apa boleh buat, sekali-sekali boleh lah supaya ia semangat.

Alhamdulillah, Ramadan ini stok makanan kami lengkap. Semoga mendukung ibadah kami semaksimal mungkin, amiin amiin.

Monday, March 04, 2024

Brownies

Perkenalan pertamaku dengan brownies adalah di Bandung, sewaktu kuliah di ITB. Bukan brownies Amanda, yang baru muncul dan mulai terkenal saat itu, tapi justru brownies buatan salah satu teman kos-ku di Cisitu. Sahabat kesayanganku ini, N, sudah berjiwa entrepreneur sejak dulu. Di saat aku cuma sibuk berkutat dengan tugas-tugas besar dan tenggelam di buku-buku tebal bajakan dari fotokopian Dunia Baru, ia sudah membangun usaha sampingannya sambil kuliah. N berkongsi dengan salah satu teman kos yang lain untuk bekerjasama membuat puding cup dan brownies yang lalu dititipkan di toko kelontong dekat kos-kosan kami. 

Untukku dulu memasak, apalagi membuat brownies seperti yang N lakukan, adalah hal yang ajaib. Ke dapur saja hampir aku tak pernah. Sejak kos semasa SMA aku bergantung pada makanan jadi dari ibu kos atau warung. Dengan keterbatasan uang bulanan, makanan enak seperti kue-kue dan brownies itu adalah makanan mewah yang cuma bisa dimakan kalau waktu liburan pulang ke rumah: program perbaikan gizi dari Ibuku. Jadi bahwa makanan seenak brownies bisa dibuat sendiri di dapur kos-kosan kami yang seadanya itu benar-benar amazing buatku!


Tentu saja buat N itu tidak semudah mengayunkan tongkat ajaib. N belajar memasak dari ibunya yang biasa menerima pesanan kue-kue untuk acara-acara. Untuk memulai usahanya, N membeli oven tangkring untuk dipakai di atas kompor dapur kos-kosan kami dan membawa mixer serta peralatan masaknya dari Jakarta. Ia berbelanja bahan kuenya di toko bahan kue di Simpang dan dengan detil menghitung pengeluaran termasuk penggunaan gas kompor milik bersama untuk menetapkan harga jualnya. Ia juga membuat kotak kue cantik yang dihiasnya dengan kertas kado untuk menaruh kue yang dijualnya di toko. Malam ia akan membuat adonan dan memanggang browniesnya. Paginya browniesnya dipotong-potong dan dikemas untuk dijual per potong. Telaten dan keren banget, deh, pokoknya N dalam berbisnis! Kata N konon ini karena keturunan Arab-nya, jadi jiwa bisnis sudah kental di keluarganya. 


Sebagai fans berat brownies N awalnya aku membeli browniesnya sebelum dibawa ke toko. Namun kemudian sempat N protes, karena terlalu banyak dibeli duluan di kos jadi sedikit yang bisa dibawa ke toko. Akhirnya beberapa kali kubela-belain, deh, beli ke toko dekat kos. Sisa yang tak habis terjual di toko juga kadang jadi rezeki bisa kubeli. Duh, nikmat sekali dulu rasanya bisa makan brownies yang enak di kos-kosan hampir tiap hari!


Ketika waktu libur tiba, terinspirasi dari N aku jadi ingin membawakan brownies untuk orangtuaku. Namun, sebagai orang terlalu PD, aku ingin membuatnya sendiri: penuh cinta untuk Bapak Ibuku! Maka aku pun ikut N berbelanja bahan dan membeli sendiri bahan untuk 1 loyang. Dengan meminjam semua peralatan N dan dengan semangat '45 aku membuat brownies mengikuti resep N. Tentu saja sambil terus menerus bertanya dengan rewel ini itu detail cara pembuatannya. Pakai protes segala: "Masa, sih, minyak goreng dipakai untuk buat cake?".  Sekarang setelah kupikir-pikir, kebangetan juga aku ini ngerepotin N. Masya Allah, sabar sekali N padaku! 

Dan hasilnya... gagal! Hahaha.

Entah mengapa brownies yang kupanggang lengket di loyang. Warnanya, sih, sudah betul coklat kehitaman. Akan tetapi teksturnya berbulir-bulir lengket, jauh beda dari brownies yang lembut, dan bentuknya juga tidak jelas. Apa boleh buat, sudah waktunya liburan, kubawa lah brownies gagal itu mudik.


Sampai rumah, sambil lalu kutaruh brownies itu di meja makan. "Ini aku bikin brownies, Bu, Bapak, tapi gagal, hehehe," lalu kutinggal lah brownies itu sementara aku sibuk dengan hal lain. Mungkin bongkar-bongkar baju kotor bawaan, hihi.

Tak disangka ketika kemudian aku kembali ke meja makan, Bapakku sedang dengan nikmat memakan brownies gagalku. Aku langsung dengan panik berusaha menghentikan beliau. "Jangan dimakan, Bapak. Itu gagal browniesnya, nggak enak!".

Namun Bapakku dengan santai tetap menyendok langsung dari loyang brownies yang sekarang sudah berkurang setengah lebih isinya. "Enak, kok, ini!".

Tidak tega rasanya aku melihat Bapakku memakan brownies gagalku. Akan tetapi  terharu sekali juga rasanya menyadari betapa suportifnya Bapakku kepadaku. Bapakku menghargai sekali usahaku membuat brownies itu walau hasilnya gagal. Allahuma barik, semoga Allah SWT membalas menyayangi Bapak Ibuku sebaik-baiknya, lebih dari Bapak Ibuku menyayangiku selalu.

Alhamdulillah sekarang, setelah melanglang buana dan terpaksa masak kalau mau makan, skill masak memasakku sudah lebih baik. Tak hanya brownies, berbagai macam cake lain sampai yang tricky seperti bolu gulung dan dobos torte pun Alhamdulillah kini bisa kubuat. Akan tetapi brownies selalu tetap di hati. Brownies selalu jadi pilihanku saat ingin sesuatu yang menyenangkan hati atau saat harus cepat-cepat membuat sesuatu untuk berbagi di acara dengan teman-teman. Aku selalu memastikan di rumah selalu ada coklat blok, mentega, terigu, gula dan telur sehingga sewaktu-waktu aku dapat membuatnya. Membuatnya mudah dan cepat, dan variasi toppingnya bisa dikreasikan tanpa batas. 

Anak-anakku, Alhamdulillah, juga selalu menikmati brownies buatanku. Putraku suka brownies dengan topping kacang-kacangan yang berlimpah, sementara putriku lebih menyukai brownies tanpa topping. Senang sekali rasanya tiap melihat mereka makan dengan lahap brownies buatanku. Semoga sampai nanti makan brownies akan selalu mengingatkan mereka akan rasa sayangku pada mereka, sebagaimana aku teringat rasa sayang Bapakku padaku, amiin.


Wednesday, February 07, 2024

Aku yang Dulu

Siapakah aku yang dulu? 

Susah rasanya melihat jejaknya di cermin. Aku sendiri sudah lupa rasanya siapa aku. Tapi, aku ingat kata-kata orang tentang aku yang dulu.

Mata yang sedih ini dulu kata bulik, adik ibuku, adalah mata yang ceria menyampaikan senyuman. "Bahkan sejak bayi", tekan beliau. 

Yah, rasanya aku yang dulu memang selalu penuh senyum dan bahagia. Mengenangnya hatiku terasa penuh dan senang. Aku yang dulu selalu dikelilingi keluarga dan sahabat yang sayang sekali padaku. Mereka selalu mendukungku, mempercayaiku, menghargai dan senang menghabiskan waktu bersamaku. Kawan-kawanku selalu menulis pada testimoni mereka tentang aku bahwa aku selalu ceria dan tersenyum. 

Aku yang dulu sangat aktif. Sejak SMA kegiatanku berderet dari mulai kegiatan baris-berbaris,  kerohanian siswa, sampai karya tulis ilmiah. Pengalaman berorganisasiku lengkap, mulai dari mengadakan pengajian, dengan sekat antara perempuan dan laki-laki, ospek SMA lalu jurusan, sampai mengadakan acara-acara pentas seni yang mendatangkan band ternama seperti Sheila on 7, lalu juga Cokelat. Oleh karena itu kawan-kawanku pun banyak dan tersebar dari berbagai kalangan.

Kalau berkumpul dengan teman-teman lama, mereka selalu bercerita tentang aku yang pintar. Kadang-kadang aku pun tidak ingat peristiwanya, tapi lalu mereka yang mengingatkan ketika aku mendapat nilai tertinggi di suatu kuliah, misalnya. Tapi rasanya aku harus mengatributkan gelar pintar itu ke kerja keras.

Aku yang dulu sangat produktif. Waktuku penuh diisi dengan belajar dan beribadah. Ibuku bercerita bagaimana dalam perjalanan kereta pada saat sakit pun aku tetap sibuk mengerjakan lembar-lembar soal matematika SMA. Dalam keadaan kritis demam berdarah aku berkeras tidak mau di-opname di rumah sakit karena aku harus mengerjakan tugas-tugas kuliahku. Teman-teman kos SMA dan kuliahku bercerita tentang aku yang selalu terlihat di kamar bergadang sampai larut malam belajar dan bangun dini hari tahajjud.

Ah, aku yang dulu sungguh senang sekali belajar. Dari SD sampai S3 Allah mengaruniakan banyak sekali ilmu kepadaku. Mimpi-mimpiku untuk masuk SMA terbaik, lalu jurusan ITB dengan passing grade paling tinggi, kemudian beasiswa penuh untuk S2 dan S3 di luar negeri semua dikabulkan Allah SWT. Masya Allah, Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar. Kadang-kadang aku terlupa begitu banyaknya nikmat yang telah kuterima dan lupa bersyukur.

Aku melihat kembali ke cermin. Susah rasanya melihat aku yang dulu : penuh senyum, percaya diri, pintar, pekerja keras, penuh harapan dan mimpi. Tapi merenungi aku yang dulu, kusadari aku yang dulu masih disitu. Mungkin, masih ada harapan untuk aku yang sekarang juga.

Tuesday, September 19, 2023

5 stages of receiving a diagnosis

First it was a surprise. That I am a victim of NPD abuse. 


Much like how I got the complex PTSD diagnose. 

Back then it's first disbelief/denial. I don't live in a warzone area.


With this one, I actually brought up the possibility, having seen how the symptoms just match.


The confirmation first felt as a relief. I am not crazy. Something IS wrong with him.


Then I started reading about it. And just like before it feels I am reliving all the painful events.


Now everything is clear, the why : he's a narcissist. Or maybe autistic and narcisstic.


Still, the "answer" doesn't make it hurt less. It hurts more and more now that all the instances, the hurt, swept under the rug, thought to be all my fault, all came back up. 


And together I can see, it's not all my fault as I made myself believe. 

It hurts, it hurts so very much. I am not yet to the next stages... I know i must do something. But this pain is just debilitating. This pain, i need to own it first. That I am hurt, really really hurt.


Being in a state of shock is an understatement.

I am spent, trying my best keeping my face straight from just bursting out ugly crying any second I can when no one's watching.


Monday, September 18, 2023

Validation today

 It doesn't matter whether it's autism or NPD or whatever undiagnosed thing it is / they are. 

I am hurt as a result. 

I am reduced to an empty shell of my former self in the limited space that I am allowed, which is getting smaller and smaller.

Whatever I do doesn't matter because it's never going to please you anyway.

There's something wrong with you. 

And after everything, I have to accept, there's nothing I can do about it. I just have to learn to survive, stay sane, and do my best for the kids.

Sunday, July 09, 2023

Rijksmuseum Amsterdam with kids

 We had a fabulous day out with the kids at the Rijksmuseum Amsterdam today! 

The museum has free entrance for kids under 18 years old, and free for us parents with museumkaart. The travel was free with NS kidsvrij and NS weekendvrij for parents. Taking into account today was the hottest day ever in NL, I think spending it in an airconditioned grand building surrounded with majestic artworks was a real win!

We did Missie Meesterwerk/ Mission Masterpiece family exhibition and Pim & Pom in het Rijksmuseum that we couldn't stop fawning about and we couldn't recommend them highly enough! 

Mission Masterpiece is both in Dutch and English and it got us, the whole family, suited up with labcoats, lanyards with mission checklist, and pencils. My kids immediately copied our instructor who slipped his pencil behind his ear! 

My daughter immediately remarked, "We're all doctors now!", adoring us all in the white coats. Amen my dearest ones, hope you both can be Dr. or dr. too if you wish so, amiin. 

(Notes: XS coatsize was still sweeping-floor length for my 4 year old though, and I saw another little girl with the same problem. Maybe Rijksmuseum could invest in several smaller size labcoats in the future?)

The people who were helping at the Mission Masterpiece were absolutely lovely! They enthusiasticly dressed all of us, and even offered to take a picture for all of us too! Yay for having a non-selfie group pic! 

The instructions were very simple and there are literally step by step written guide for each of the missions (there are 8 of them). The age guide is correct for 8+ but it is indeed absolutely fun for the younger kids too. Just need lots of supervisions and guiding. My 7 year old wanted us to just quickly tell him what to do rather than reading the instructions, and my 4 year old prefers to do whatever she wants to do :D

The missions got them to use microscopes, observing UV light effects on gems, observing X Ray results, ink pigments, growth circle in woods, using magnifying glass to check kimono handcrafted decorations and much more! It was an hour crash course in science over artworks and absolutely worth it! In the end we could make other (silly) group pictures too that we could download. Yay!


Next, we picked up Pim and Pom from the ticket desk. They are two talking cat plushies who are on a mission in hunting a mouse and enlisting our kids help! Pim and Pom are just so cute and huggable and my kids wished so much we could just take them home! Me too honestly, and lots of people around too, since a lady even approached us to ask where she could buy them! I wish, gurl, I wish!  


Make sure Pim and Pom both talks when you picked them from the counter! We had a hiccup that Pom wasn't talking, so we had too go back to the counter to get a new, fully charged Pom. But the people at the counter were just sweet and great and kept on supplying us with pims and poms throughout the day! We went through 2 Pims and 3 Poms in total! 

Pim and Pom are only speaking Dutch and must ( / can?) be pre-reserved online for a 1 hour period for 7.5 eur. However, turned out it was fine for us to use it almost the whole day, yay! 


Due to the first Pom not talking we had to stop our pim pom walkthrough before going to second floor and decided to have lunch first.

And, so, here's another amazing thing for family with kids at Rijksmuseum: a picknick room, indoor at Phillips Wing (just right before you go to the Mission Masterpiece) with clean tables, sink to refill your water and workshop for the kids!

We could just quickly feed our hungry, hungry kids with our packed lunch breads, get them cleaned right after and enjoy a bit of rest while they crafted some artworks after! Again, the staffs are sweet! The kids get great time crafting  (colouring with crayons, watercolours, cutting and pasting) and the parents get a bit of rest on the sofas.

Then, on to the adventure with Pim and Pom! They took us visiting animals in the showpieces:

  1. Ceramic parrot
  2. Monkey who's eating an apple,
  3. Dog on a boat
  4. Angry golden cat
  5. Bees, owl, goat, and an elephant,
  6. A cat in the kitchen (of a dollhouse)
  7. A sleeping dog,
  8. 4 peaches (okay these are not animals)
  9. King lion on a ship
  10. Woofing dog
  11. Angry goose
  12. Finally, the mouse in a flower painting
The kids had to locate them, pet Pim and Pom, and follow their instructions along the way. To hiss as scarily as possible and to sing a lullaby for example.

And along the way, us, the parents, could enjoy some artworks without having to drag bored, unmoving kids from room to room and hopelessly trying to coax them to look at the showpieces! They had to inspect the pieces instead to find their target! The only downside is that they were hurrying us instead to move to the next target. 





Friday, April 07, 2023

Parental win

 A parental win looks just like a normal day. 

When the baby is calmly eating her food, including the greens. Happily enjoying it while watching a show ... That she earlier rejected ... vehemently. 

That sent her to tantrums. With full blown baby rage, crying, kicking, and tears.

The tantrums unnerved the Dad, and sent the situation to full chaos.

The chaos was loud, stressful, filled with rage, tears and fear.

The parental win was quiet. Uncelebrated as everyone just goes on, as if there was no war just erupted. 

In non celebratory manner the "winning" parent must also continue to function normally. Despite the stressful pressure that just passed, the utmost patience and restraints just exercised, the misdirected anger, kicking, and protest just endured. The hours passed with:

- reciting prayers, 

- checking the parenting book for more ideas, 

- hundreds of distractions tried to no avail, 

- breathing exercises to keep the calm and to not join the tantrum too, 

- swinging the baby in various speed and direction to every possible change of scenery,

went unnoticed. 

So, here's for all the parents that have successfully subdued their little one's tantrum while remaining calm! You did it! You're the winner! I see you! And you deserve all the applause, cheers, and confetti in the world! You're the winner!