Thursday, December 22, 2022

Vaccination consent

 Today I spent around 2 hours through the hoops and loops that is Netherlands health system to be able to schedule the second dose of Corona vaccine for my kid. Given A already had an infection in the past, the NL government is against the notation that A should be given a second dose. 


I had to stay and listen to the pros and cons of the second dose. Only then I can consciously decide that I do wish to have the second dose of Corona vaccine for A knowing full well of all the risk.


I do greatly appreciate all the care put into assuring that I know what I am doing when I take the decision. But I can't help thinking, why don't they make everyone goes through this lengthy procedure too before they can decide if they don't want to have the coronavirus vaccination?

Wednesday, March 30, 2022

Vaccination and Booster effects

 Yesterday, prior to getting the booster I was asked how did it go with my previous vaccinations? I just replied, "It went fine, a little bit of fever."

But last night, upon re-suffering it, I remember, totally not just a bit of fever.

First, I felt cold, freezing cold, that layers of clothes didn't help. Then fever, up to 38 degrees Celsius. My whole body hurt, it hurt so much I couldn't sleep and can't help moaning through the night. Vivid dreams. 


Thankfully the fever subsided, now I'm just left feeling weak and pained through my body. Especially from the waist down.

Wednesday, March 23, 2022

Berani Berpuasa di Bulan Ramadhan

 Bulan Ramadhan sudah dekat! Biar semangat jauh-jauh hari sudah ku-hype ke anak-anakku, A dan S, "Wah, senangnya! Sebentar lagi Ramadhan! Kita puasa, sahur bareng-bareng, buka puasa yang enak-enak! Lalu Lebaran, hore!". 


Tak lupa sebelumnya sudah kubaca-baca tips dan trik membujuk anak ikut berpuasa. Anakku A sekarang sudah berumur 6 tahun. Dan, Alhamdulillah, tahun ini bulan Ramadhan sudah semakin bergeser ke musim semi. Durasi puasa insya Allah akan sekitar 15-17 jam. Lumayan banget dibandingkan sebelumnya yang biasanya 18 jam. Jadi rasanya A sudah kuat, insya Allah, untuk mencoba berpuasa setengah hari. 


Di luar dugaan, tanpa sempat mempraktekkan jurus-jurus membujuk anak berpuasa, ternyata A sendiri yang langsung mengajukan rencana puasanya! "Aku mau puasa, ya, Bu! Jadi nanti aku tiap hari ga bawa tas ke sekolah. Dan aku mau sahur pakai mi goreng!".

Subhanallah, aih, terharu dan terkagum-kagum aku dengan semangatnya. Bersemangat, yakin, dan berani sekali anakku! Walau permintaan menunya membuatku curiga jangan-jangan dia ingin makan Indomie saja, hihihi. Memang kujanjikan dia boleh minta makan sahur dan buka apa saja kalau berpuasa. 


Tapi ternyata justru aku yang jadi khawatir. Maka kubujuk, "Tetap bawa bekal aja, ya, nak, siapa tahu nanti lapar". Yang dijawabnya dengan pendek dan yakin, "Nggak". Diskusi kami tidak berlanjut lagi karena aku lalu terdiam, sibuk dengan kekhawatiran-kekhawatiranku. 


Sekolah A sampai jam 3 sore. Apa iya, dia sudah kuat berpuasa paling tidak sampai jam 3? Nanti bagaimana, ya, menerangkannya pada ibu gurunya? Sekolah A bukan sekolah muslim. Murid muslimnya Alhamdulillah banyak, tapi bukan mayoritas. Akan dipikir membahayakan anak kah kalau kubilang A mau berpuasa dan tidak akan membawa bekal selama Ramadhan? Apa iya A kuat berpuasa pertama kali dan langsung 15 jam?


Lalu aku jadi sadar sendiri, apa iya aku kuat berpuasa 15 jam? 5 tahun terakhir aku tak berpuasa karena hamil dan menyusui A dan S. Apalagi sekarang aku belum mulai bekerja lagi. Dulu rasanya meski puasanya panjaaang sekali asal kuhabiskan bekerja di kampus yang nyaman ber-AC maka tak terasa akan sudah waktunya berbuka. Bagaimana sekarang yang harus di rumah, memasak dan tetap memberi makan S (dan A)?


Ih, tapi begitu ingat betapa mantapnya A tadi berniat puasa, aku jadi malu sendiri. Masa aku yang sudah berpengalaman bertahun-tahun sebelumnya puasa kalah berani sama yang belum pernah sama sekali berpuasa? Apalagi sekarang cadangan lemakku sudah banyak #eh. Diingatkan juga oleh A yang selalu mengulang kembali kata-kataku, "Perkataan itu doa, Ibu". Kalau takut ngga kuat, takut ngga bisa, nanti jadi beneran, deh.

Maka, bismillah, insya Allah A dan saya akan berpuasa penuh Ramadhan ini. Semoga Allah memudahkan Ramadhan kali ini untuk A belajar berpuasa dan saya memulai puasa lagi, amiin. 

Wednesday, March 09, 2022

Menulis itu Mudah: Ode untuk Hilman Hariwijaya

Buat anak kampung yang tinggal di pulau nun jauh dari Jawa seperti Lite, sosok Olga yang jago sepatu roda, jago ngocol, dan punya penghasilan sendiri sebagai penyiar radio itu keren bangetttt! Kosakata seperti doski, gebetan, dan slang khas jakarta lainnya, lengkap dengan produk komersial Toblerone yang bendanya bahkan tak sampai di Ujung Pandang, jadi serasa dekat dengan realitas Lite. 

Nggak mau kalah, dong, Lite kecil dulu lalu belajar sepatu roda. Weekend pergi ke ring sepatu roda dengan sohibnya tersayang, Ratna. Olga punya Wina, Lite punya Ratna. Sempat juga Lite bela-belain cari anting bulat besar merah biar kayak Olga. Tak lupa cari radio untuk melamar kerja sebagai penyiar. Sayang, karena alergi dan masih SD, dua-duanya tak kesampaian, hehehe.

Meski nggak kesampaian jadi Olga, tapi pesona Olga, - yang lalu berlanjut ke Lupus, Lulu, dan Vanya setelah membaca semua novelnya lengkap - , tetap lekat di hati Lite. Cerita yang ringan, gaya bahasa yang santai, kosakata tidak baku yang beda banget dengan novel-novel Balai Pustaka koleksi Ibu Lite, membuat novel-novel itu berkesan sekali. Kayaknya mudah, ya, menulis. Sosok penulisnya, Hilman Hariwijaya, jadi idola Lite. Salah satu cita-cita Lite:  mengirimkan naskah untuk dimuat di majalah Hai. Apa boleh dikata, dulu belum kesampaian karena Lite cuma baca Bobo, Ananda, dan Donal Bebek aja. Sekarang, masih ada, nggak, ya, majalah Hai?


Tentu saja, ternyata tidak semudah itu menulis untuk menghasilkan karya seperti Olga dan Lupus. Walau tokohnya nyeleneh, banyak kosakata slang, ceritanya penuh lelucon dan tebak-tebakan ajaib, tapi selalu saja ada hal yang menyentuh yang jadi pesan moralnya. Berbekas di ingatan cerita tentang Olga dan Wina mengepit biji-biji scrabble di ketiak, tapi juga cerita Olga merelakan gajinya untuk rekan kerja beda agamanya yang kesusahan supaya ia bisa merayakan Natal. Lupus dan Lulu yang selalu dikejar maminya biar nggak ngilangin sendok, tapi juga mereka yang bahu-membahu membantu temannya melawan penggusuran. Ada kepekaan sosial di cerita-ceritanya yang rasanya jauh dari berita-berita tentang "sultan" dan jor-joran pamer harta yang beredar sekarang.


Hari ini, tiba-tiba ada kabar duka cita berpulangnya Hilman Hariwijaya. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Ah, langsung terkenang semua tentang Olga, Lupus, dan tokoh-tokoh lainnya. Sedih sekali. Rasanya ikut hilang separuh masa kecil Lite. Dimana, ya, semua novel-novel itu? Anak-anak Lite nanti akan bisa menikmati gokilnya Lupus dan Olga ga ya? Radio aja sekarang mereka sudah ga kenal, terganti oleh Youtube. 


Mudah-mudahan nanti ketika mereka remaja mereka juga bisa menikmati membaca Olga, Lupus, Vanya, dan juga literatur-literatur yang seperti itu. Yang seru, bikin cekikikan sendiri, tapi juga mengajarkan mereka percaya diri, mandiri, peduli dengan teman, dan juga kenal dengan budaya lokal Indonesia saat itu. 


Selamat jalan Hilman Hariwijaya, terimakasih untuk semua waktu menyenangkan yang  dihabiskan membaca novel-novelmu, semoga tulisan-tulisanmu jadi amal jariyah yang menerangi tempat kembalimu, amiin amiin.