Setelah menulis posting saya yang lalu, baru saya menyadari sesuatu :
ternyata menulis dalam bahasa Indonesia itu tidak mudah.
Atau ini saya saja, ya, yang tidak terbiasa menulis dalam bahasa Indonesia?
Saya selalu membanggakan pada kawan-kawan asing saya disini bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang super-duper mudah dipelajari.
Bagi yang familiar dengan bahasa Inggris saja misalnya,
pasti langsung dapat menghargai betapa bahasa Indonesia yang sama sekali tidak mempunyai sistem tenses itu mudah.
Hendak berbicara tentang hal yang terjadi di masa lalu, sedang berlangsung, atau pun di masa depan? Gunakan saja kalimat yang persis sama dengan tambahan keterangan waktu yang berbeda.
Tidak ada kata kerja yang menjadi berubah karena masalah waktu, tidak ada susunan kata yang harus berubah.
Kata benda sebagai singular hendak dijadikan plural? Ulang saja kata tersebut tanpa pusing menambahkan "s" di belakang, atau menghafalkan benda-benda yang mempunyai bentuk plural perkecualian.
Lebih jauh, apabila hendak dibandingkan dengan bahasa dengan akar bahasa latin (seperti bahasa Perancis, Italia, Spanyol, Portugis), makin dahsyat lagi terasa betapa sederhananya bahasa kita.
Dalam mempelajari bahasa-bahasa latin tersebut kita akan direpotkan dengan bentukan kata kerja yang berbeda untuk subyek kalimat yang berbeda. Contoh: menulis dalam bahasa italia adalah "scrivere", apabila saya yang menulis, kata kerja tersebut menjadi "scrivo", kalau subyeknya kita/ kami, ia menjadi "scriviamo". Tentu saja hal ini tidak didapatkan di bahasa Indonesia dimana kata kerja menulis ya tetap menulis untuk subyek-subyek manapun.
Bahasa kita tidak mengenal perbendaan gender terhadap benda-benda(dan manusia). Bandingkan ini dengan bahasa akar latin yang mempunyai dikotomi terhadap benda-benda sebagai maskulin atau feminin. Apalagi bila dibandingkan dengan bahasa Jerman yang selain mengenal maskulin, feminin, juga gender netral (kalau bingung, ini kira-kira sepadan dengan "it" dalam bahasa inggris). Karena setiap benda memiliki kategori gendernya, maka akhirnya pada awal-awal mempelajari bahasa-bahasa asing tersebut, kata benda harus dihafalkan dengan artikel penunjuknya yang mengidentifikasikan gender kata benda tersebut : contoh "der Tisch"(meja, yang lelaki dalam bahasa jerman, hahahaha).
Merujuk pada sesuatu dan seseorang akhirnya harus memperhatikan kategorisasinya.
Bandingkan dengan bahasa Indonesia yang dimana kita bisa dengan santai cukup mengucap "dia" dan membiarkan pendengar menafsirkan siapa dia itu sesuai konteks karena "dia" bisa berarti menunjuk pada seseorang yang perempuan, maupun seseorang yg laki-laki.
Topik pembedaan gender dalam bahasa ini pernah diangkat kawan kuliah saya dulu (hello, Avicenna!). Menurutnya karena itulah bahasa Indonesia tidak dapat digunakan sebagai bahasa ilmiah.
Bisa dibilang pendapatnya ada benarnya juga. Karena akhirnya tanpa tenses, tanpa pembedaan subyek, semua bergantung pada konteks.
Perhatikan keterangan waktu untuk mengetahui kapan hal yang dibicarakan terjadi, perhatikan topik yang dibicarakan untuk tahu "dia" dalam satu kalimat merujuk ke siapa yang perempuan atau laki-laki. Semua kemudian dapat bergantung pada penafsiran.
Di lain pihak, hal ini dapat dikatakan keunggulannya juga. Fleksibilitas.
Indonesia sekali, bukan?
Hampir semuanya fleksibel seperti halnya jam datang angkot Cisitu saya dulu dan rutenya (kalau sedang sepi penumpang, ngetem dulu lah. Lalu kalau sepertinya banyak penumpang di arah sebaliknya, ya, putar balik saja :D)
Masih berkaitan dengan fleksibilitas ini pula, bahasa kita dengan mudah menyerap pengaruh dari bahasa-bahasa lain. Dan menciptakan slang-slang, ungkapan-ungkapan secara produktif.
Coba lah menjauh dari Indonesia selama beberapa waktu (contoh: kuliah di negeri orang dan tidak pulang-pulang bertahun-tahun :D). Maka ketika kembali pasti untuk memperoleh predikat "gaul" dan mampu berkomunikasi dengan gaya yang aktual dibutuhkan skill yang cukup. Seperti untuk memahami penggunaan kata "secara" yang tidak benar tapi populer misalnya :D
Bertautan dengan post sebelumnya, sejujurnya fleksibilitasnya ini lah yang telah mampu menjadikan bahasa Indonesia bahasa persatuan kita. Ia menerima serapan dari bahasa manapun, menerima dialek dan pengaruh dari bahasa daerah manapun.
Akhirnya fleksibilitas ini membuat bahasa Indonesia aktual yang digunakan sehari-hari berkembang pesat. Dan harus diakui akhirnya bahasa Indonesia baku dan bahasa Indonesia yang sehari-hari digunakan kini menjadi dua entitas yang bebeda.
Apa yang diajarkan di sekolah (sepanjang ingatan saya tentu saja) adalah yang baku, yang tadi saya puja-puji sebagai bahasa yang sederhana dan mudah dipelajari. Tapi apakah kemudian itu yang digunakan sehari-hari?
Cobalah praktekkan bahasa baku, baik, dan benar dalam percakapan sehari-hari, hasilnya adalah percakapan yang akhirnya tidak natural dan menggelikan bagi orang Indonesia asli dengan rasa bahasanya. Lalu harus bagaimana orang mempelajari bahasa Indonesia?
Akhirnya semua kembali pada dibutuhkannya "rasa" untuk bahasa. Yang dalam bahasa Indonesia sangat dibutuhkan untuk membuat kalimat yang "normal".
Inilah hal yang baru saya sadari ketika menulis posting mengenai sumpah pemuda sebelumnya.
Saya bahkan terhenti untuk beberapa saat ketika mulai menulis karena saya tidak tahu harus menggunakan kata ganti orang pertama apa. Saya? Aku? Gua? Gw (Singkatan favorit saya untuk kata "gua" yang pada perasaan saya seperti menjadikannya lebih halus dari pada "gua", hehehe)? Apakah yang satu terlalu formal? Apakah yang lainnya terlalu informal?
Akhirnya, untuk asas keadilan, pada lain kali saya membanggakan mengenai betapa mudahnya bahasa Indonesia, mungkin saya harus menambahkan keterangan bahwa bahasa Indonesia yang digunakan sehari-hari banyak menggunakan slang... dan.... tidak cukup mudah untuk diimitasi pembicara dengan bahasa pertama bahasa lain :D
Disclaimer:
penulis bukan jebolan pendidikan sastra manapun :D
silakan dikoreksi apabila ada kesalahan-kesalahan dan ditambahkan apabila ada yang kurang-kurang.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment