Alkisah pada suatu pagi yang dingin, hujan dan terburu-buru,
ketika ketinggalan bis beberapa detik saja berarti terlambat memenuhi janji saya menemui dosen,
maka berlarilah saya dengan kecepatan yang diusahakan meminimalkan kemungkinan terpeleset bekas salju bercampur hujan sambil tetap memaksimalkan peluang mencapai halte bis tepat waktu.
Pada kecepatan konstan lariku itulah tiba-tiba ekor mataku mendeteksi suatu berwarna hitam yang tersangkut di pagar trotoar jalan yang kulintasi.
Dan sampai saat ini saya masih mengagumi refleks motorik saya yang bertindak saat itu.
Sebelum otak saya bahkan sempat mengajukan salah satu dari pertanyaan 5W dan 1H mengenai benda yang dideteksi ekor mata saya itu, saya tiba-tiba telah memandangi benda hitam, basah, tebal, bergaris-garis itu yang sekarang telah berpindah ke tangan saya, di depan mata saya... sambil tetap berlari dengan kecepatan yang sama.
Dan... benda itu ternyata adalah...
sepasang sarung tangan saya :D
Ibu saya membelikan sarung tangan rajutan hitam tebal dengan garis abu-abu itu di pasar tanah abang tiga tahun lalu... dijual satu set dengan syal yang setelah dilipat dua tingginya sama dengan saya. Saya sangat menyukai syal dan sarung tangan itu. Selain karena memang itu satu-satunya syal tebal yg saya punya, juga karena warnanya match dengan jaket saya :D
Syalnya sedang saya pakai saat itu. Tapi saya mengenakan sarung tangan lain yang walau tidak matching tapi mampu melindungi tangan saya dari kejamnya hawa musim dingin. Saya terpaksa memakai sarung tangan lain itu selama beberapa hari terakhir karena saya tidak bisa menemukan sarung tangan saya yang satu set dengan syal tersebut.
Setelah sampai di halte dan saya lepas dari keterkejutan saya atas kesaktian gerak motorik saya barulah saya bisa berfikir....sekarang saya tahu sebabnya saya tidak dapat menemukan sarung tangan itu di rumah :D
dan saya hanya bisa berucap, Alhamdulillah.
Rupanya sarung tangan ini, Alhamdulillah, masih menjadi rezeki saya.
Dan.. menceloslah hati saya...
Subhanallah, Tuhanku yang Maha Pengasih, yang mengatur rezeki seluruh makhlukNya. Yang menjagakan sarung tangan saya sampai kembali pada tangan saya meskipun saya bahkan tidak menyadari saya sempat kehilangan benda tersebut beberapa hari pada tikungan jalan yang ramai.
Dan sontak saat itu saya malu hati...
Semenjak beberapa hari sebelumnya pikiran saya dirundung risau berkepanjangan memandangi hidup saya.
Ini adalah tahun terakhir saya kuliah, tahun terakhir saya dibiayai beasiswa, tahun terakhir saya bisa berlindung di balik tameng kemahasiswaan saya.
Sejauh masa perjalanan hidup saya ini, saya hanya tahu tentang sekolah. Dan Alhamdulillah sambil sekolah itu ternyata hidup dan sekolah saya ditanggung oleh
pihak-pihak di sekitar saya: pertama orang tua, kemudian pemberi beasiswa, dan universitas.
Memikirkan tahun terakhir saya ini, saya merisaukan apa yang mesti saya perbuat setelah lulus saya nanti. Saya seharusnya sudah dewasa... mampu berdiri sendiri. Tapi saya baru menyadari saya sama sekali tidak mempunyai bayangan apa yang harus saya lakukan untuk menyokong hidup saya.
Dan kengerian mengenai hal yang tak saya ketahui itu menghantui saya.
Risau saya berkepanjangan, tidur tak nyenyak, fikiran saya selalu penuh kekhawatiran saya tidak akan bisa hidup paska menjadi PhD.
Namun insiden kembalinya sarung tangan di pagi hari itu tiba-tiba menyadarkan saya...
Subhanallah, mengapa saya sampai lupa tentang Sang Pencipta yang telah mengatur rezeki bagi semua?
Pagi itu saya menemukan kedamaian...
Saya masih tidak tahu bagaimana hidup saya nanti setelah lulus.
Tapi sebagaimana Allah menjagakan sarung tangan yang Alhamdulillah masih menjadi rezeki saya itu untuk saya, insya Allah apabila saya tetap berusaha sebaik-baiknya melakukan apa yang saya bisa dengan niat di jalan-Nya, insya Allah saya mampu menjemput rezeki yang telah digariskan-Nya untuk saya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment